Minggu, 22 November 2020

Review Perubahan Paten dan Merek pada UU Cipta Kerja Pada Omnibus Law

Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2016 tentang Paten

Pasal 107

Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2016 tentang Paten (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 176, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 59221 diubah sebagai berikut:


Ketentuan Pasal 3 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 3

1. Paten sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf a diberikan untuk Invensi yang baru, mengandung langkah inventif, dan dapat diterapkan dalam industri.

2. Paten sederhana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf b diberikan untuk setiap Invensi baru, pengembangan dari produk atau proses yang telah ada, memiliki kegunaan praktis, serta dapat diterapkan dalam industri.

3. Pengembangan dari produk atau proses yang telah ada sebagaimana dimaksud pada ayat (2) meliputi:

a. produk sederhana;

b. proses sederhana; atau

c. metode sederhana.

 

Ketentuan Pasal 20 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 20

1.     Paten wajib dilaksanakan di Indonesia

2.      Pelaksanaan Paten sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ialah sebagai berikut:

a. pelaksanaan Paten-produk yang meliputi membuat, mengimpor, atau melisensikan produk yang diberi Paten;

b. pelaksanaan Paten-proses yang meliputi membuat, melisensikan, atau mengimpor produk yang dihasilkan dari proses yang diberi Paten; atau

c. pelaksanaan Paten-metode, sistem, dan penggunaan yang meliputi membuat, mengimpor, atau melisensikan produk yang dihasilkan dari metode, sistem, dan penggunaan yang diberi Paten.


Ketentuan Pasal 82 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 82

1. Lisensi-wajib merupakan Lisensi untuk melaksanakan Paten yang diberikan berdasarkan Keputusan Menteri atas dasar permohonan dengan alasan:

a. Paten tidak dilaksanakan di Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 dalam jangka waktu 36 (tiga puluh enam) bulan setelah diberikan paten;

b. Paten telah dilaksanakan oleh Pemegang Paten atau penerima Lisensi dalam bentuk dan dengan cara yang merLrgikan kepentingan masyarakat; atau

c. Paten hasil pengembangan dari Paten yang telah diberikan sebelumnya tidak bisa dilaksanakan tanpa menggunakan Paten pihak lain yang masih dalam pelindungan.


Ketentuan Pasal 122 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 122

1. Paten sederhana diberikan hanya untuk satu Invensi.

2. Permohonan Pemeriksaan Substantif atas Paten sederhana dilakukan bersamaan dengan pengajuan Permohonan Paten sederhana dengan dikenai biaya.

3. Apabila permohonan pemeriksaan substantif atas Paten sederhana tidak dilakukan dalam batas waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) atau biaya pemeriksaan substantif atas Paten sederhana tidak dibayar, Permohonan Paten sederhana dianggap ditarik kembali.


Ketentuan Pasal 123 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 123

1. Pengumuman Permohonan Paten sederhana dilakukan paling lambat 14 (empat belas) Hari terhitung sejak Tanggal Penerimaan Permohonan Paten sederhana.

2. Pengumuman sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan selama 14 (empat belas) hari kerja terhitung sejak tanggal diumumkannya Permohonan Paten sederhana.

3. Pemeriksaan substantif atas Permohonan Paten sederhana dilakukan setelah jangka waktu pengumuman sebagaimana dimaksud pada ayat (21) berakhir.

4. Dikecualikan terhadap ketentuan dalam Pasal 49 ayat (3) dan ayat (4), bahwa keberatan terhadap Permohonan Paten sederhana langsung digunakan sebagai tambahan bahan pertimbangan dalam tahap pemeriksaan substantif.


Ketentuan Pasal 124 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 124

1. Menteri wajib memberikan keputusan untuk menyetujui atau menolak Permohonan Paten sederhana paling lama 6 (enam) bulan terhitung sejak tanggal penerimaan Permohonan Paten sederhana.

2. Paten sederhana yang diberikan oleh Menteri dicatat dan diumumkan melalui media elektronik dan/atau media non-elektronik.

3. Menteri memberikan sertifikat Paten sederhana kepada Pemegang Paten sederhana sebagai bukti hak.


Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis

Pasal 107

Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 252, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5953) diubah sebagai berikut:


Ketentuan Pasal 20 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 20

Merek tidak dapat didaftar jika:

1. bertentangan dengan ideologi negara, peraturan perundangan-undang, moralitas agama, kesusilaan, atau ketertiban umum;

2. sama dengan, berkaitan dengan, atau hanya menyebut barang dan/atau jasa yang dimohonkan pendaftarannya;

3. memuat unsur yang dapat menyesatkan masyarakat tentang asal, kualitas, jenis, ukuran, macam, tujuan penggunaan barang danlatau jasa yang dimohonkan pendaftarannya atau merupakan nama varietas tanaman yang dilindungi untuk barang dan/atau jasa yang sejenis;

4. memuat keterangan yang tidak sesuai dengan kualitas, manfaat, atau khasiat dari barang dan/atau jasa yang diproduksi;

5. tidak memiliki daya pembeda;

6. merupakan nama umum dan/atau lambang milik umum; dan/atau mengandung bentuk yang bersifat fungsional.


Ketentuan Pasal 23 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 23

1. Pemeriksaan substantif merupakan pemeriksaan yang dilakukan oleh Pemeriksa terhadap Permohonan pendaftaran Merek.

2. Segala keberatan dan atau sanggahan sebagaimana dimaksud dalarn Pasal 16 dan Pasal 17 menjadi pertimbangan dalam pemeriksaan substantif sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

3. Dalam hal tidak terdapat keberatan terhitung sejak tanggal berakhirnya pengumuman, dilakukan pemeriksaan substantif terhadap Permohonan.

4. Pemeriksaan substantif sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diselesaikan dalam jangka waktu paling lama 3O (tiga puluh) Hari.

5. Dalam hal terdapat keberatan dalam jangka waktu paling lama 30 (tiga puluh) Hari terhitung sejak tanggal berakhirnya batas waktu penyampaian sanggahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17, dilakukan pemeriksaan substantif terhadap Permohonan.

6. Pemeriksaan substantif sebagaimana dimaksud pada ayat (5) diselesaikan dalam jangka waktu paling lama 90 (sembilan puluh) Hari.

7. Dalam hal diperlukan untuk melakukan pemeriksaan substantif, dapat ditetapkan tenaga ahli pemeriksa Merek di luar Pemeriksa.

8. Hasil pemeriksaan substantif yang dilakukan oleh tenaga ahli pemeriksa Merek di luar Pemeriksa sebagaimana dimaksud pada ayat (71 dapat dianggap sama dengan hasil pemeriksaan substantif yang dilakukan oleh Pemeriksa dengan Persetujuan Menteri.


Ketentuan Pasal 25 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 25

1. Sertifikat Merek diterbitkan oleh Menteri sejak Merek tersebut terdaftar.

2. Sertifikat Merek sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memuat:

a. nama dan alamat lengkap pemilik Merek yang didaftar;

b. nama dan alamat lengkap Kuasa dalam hal Permohonan melalui Kuasa;

c. Tanggal Penerimaan;

d. nama negara dan Tanggal Penerimaan pemohonan yang pertama kali dalam hal Permohonan diajukan dengan menggunakan Hak Prioritas;

e. label Merek yang didaftarkan, termasuk keterangan mengenai macam warna jika Merek tersebut menggunakan unsur warna, dan jika Merek menggunakan bahasa asing, huruf selain huruf Latin, dan/atau angka yang tidak lazim digunakan dalam bahasa Indonesia disertai terjemahannya dalam bahasa Indonesia, huruf Latin dan angka yang lazim digunakan dalam bahasa Indonesia serta cara pengucapannya dalam ejaan Latin;

f. nomor dan tanggal pendaftaran;

g. kelas dan jenis barang dan/atau jasa yang Mereknya didaftar; dan

h. jangka waktu berlakunya pendaftaran Merek


Minggu, 08 November 2020

REVIEW KODE ETIK PROFESI

 

ETIKA

Ilmu yang membahas perbuatan baik dan perbuatan buruk manusia sejauh yang dapat dipahami oleh pikiran manusia. Tujuan mempelajari etika yaitu untuk mendapatkan konsep yang sama mengenai penilaian baik dan buruk bagi semua manusia dalam ruang dan waktu tertentu.

 

PROFESI

Belum ada kata sepakat mengenai pengertian profesi karena tidak ada standar pekerjaan/tugas yang bagaimanakah yang bisa dikatakan sebagai profesi. Ada yang mengatakan bahwa profesi adalah “jabatan seseorang walau profesi tersebut tidak bersifat komersial”.  Secara tradisional ada 4 profesi yang sudah dikenal yaitu kedokteran, hukum, pendidikan, dan kependetaan.

 

TUJUAN KODE ETIKA PROFESI

Prinsip-prinsip umum yang dirumuskan dalam suatu profesi akan berbeda satu dengan yang lainnya. Hal ini disebabkan perbedaan adat, kebiasaan, kebudayaan, dan peranan tenaga ahli profesi yang didefinisikan dalam suatu negar tidak sama.

Adapun yang menjadi tujuan pokok dari rumusan etika yang dituangkan dalam kode etik (Code of conduct)  profesi adalah:

  1. Standar-standar etika menjelaskan dan menetapkan tanggung jawab terhadap klien, institusi, dan masyarakat pada umumnya
  2. Standar-standar etika membantu tenaga ahli profesi dalam menentukan apa yang harus mereka perbuat kalau mereka menghadapi dilema-dilema etika dalam pekerjaan
  3. Standar-standar etika membiarkan profesi menjaga reputasi atau nama dan fungsi-fungsi profesi dalam masyarakat melawan kelakuan-kelakuan yang jahat dari anggota-anggota tertentu
  4. Standar-standar etika mencerminkan / membayangkan pengharapan moral-moral dari komunitas, dengan demikian standar-standar etika menjamin bahwa para anggota profesi akan menaati kitab UU etika (kode etik) profesi dalam pelayanannya
  5. Standar-standar etika merupakan dasar untuk menjaga kelakuan dan integritas atau kejujuran dari tenaga ahli profesi
  6. Perlu diketahui bahwa kode etik profesi adalah tidak sama dengan hukum (atau undang-undang). Seorang ahli profesi yang melanggar kode etik profesi akan menerima sangsi atau denda dari induk organisasi profesinya

PERANAN ETIKA PROFESI DALAM BIDANG TEKNIK INDUSTRI

Etika menjadi atribut pembeda yang membedakan antara manusia dengan mahluk hidup yang lainnya. Manusia dikatakan sebagai mahluk yang memiliki sebuah derajat yang tinggi di dunia ini, salah satunya karena adanya etika. Berikut ini adalah salah satu contoh etika yang telah disepakati oleh suatu organisasi yaitu tentang kode etik seorang sarjana Teknik Industri dan Manajemen Industri. Semoga menjadi contoh untuk kita semua.

Untuk lebih menghayati Kode Etik Profesi Sarjana Teknik Industri dan Manajemen Industri Indonesia dalam operasionalisasi sesuai bidang masing-masing, dan sadar sepenuhnya akan tanggung jawab sebagai warga negara maupun sebagai sarjana, akan panggilan pertumbuhan dan pengembangan pembangunan di Indonesia maka kami Sarjana Teknik Industri dan Manajemen Industri bersepakat untuk lebih mempertinggi pengabdian kepada Bangsa, Negara dan Masyarakat. Selaras dengan dasar negara yaitu “PANCASILA” maka disusunlah kode etik profesi berikut ini yang harus dipegang dengan keyakinan bahwa penyimpangan  darinya merupakan pencemaran kehormatan dan martabat Sarjana Teknik dan Manajemen Industri Indonesia.

PASAL 1 : Dalam melaksanakan tugas yang dipercayakan kepadanya Sarjana Teknik Industri dan Manajemen Industri akan selalu mengerahkan segala kemampuan dan pengalamannya untuk selalu berupaya mencapai hasil yang terbaik didalam keluhuran budi dan kemanfaatan masyarakat luas secara bertanggung jawab.

PASAL 2 : Dalam melaksanakan tugas yang melibatkan disiplin dan pengetahuan lain, Sarjana Teknik Industri dan Manajemen Indutstri akan senatiasa menghormati dan menghargai keterlibatan mereka, dan akan selalu mendayagunakan disiplin Teknik Indutri dan Manajemen Industri akan dapat lebih dioptimalkan dalam upaya mencapai hasil terbaik.

PASAL 3 : Sarjana Teknik Industri dan Manajemen Industri bertanggung jawab atas pengembangan keilmuan dan penerapannya dimasyarakat, dan akan selalu berupaya agar tercapai kondisi yang efisien dan optimal dalam segenap upaya bagi perbaikan dalam pembangunan dan pemeliharaan sistem.

PASAL 4 : Sarjana Teknik Industri dan Manajemen Industri mempunyai rasa tanggung jawab yang tinggi dan di dalam melaksanakan tugasnya tidak akan melakukan perbuatan tidak jujur, mencemarkan atau merugikan sesama rekan sekerja.

PASAL 5 : Sarjana Teknik Industri dan Manajemen Industri akan selalu bersikap dan bertindak bijaksana terhadap sesama rekannya dan terutama kepada rekan mudanya; selalu mengusahakan kemajuan untuk meningkatkan kemampuan dan kecakapan, bagi dirinya pribadi, bagi masyarakat maupun bagi pengebangan Teknik Industri dan Manajemen Industri di Indonesia

 

Kamis, 05 November 2020

REVIEW UU HAK CIPTA, UU PATEN, UU DESAIN INDUSTRI, UU MEREK DAN INDIKASI GEOGRAFI

Berikut ini merupakan review mengenai UU HAK CIPTA, UU PATEN, UU DESAIN INDUSTRI, dan UU MEREK DAN INDIKASI GEOGRAFI

UU HAK CIPTA

Hak Cipta merupakan hak eksklusif pencipta, yang dihasilkan sesuai dengan prinsip deklaratif setelah deklarasi secara otomatis terwujud dalam bentuk yang nyata sesuai dengan prinsip hukum, tanpa mengurangi batasan peraturan perundang-undangan. Berikut merupakan review UU Hak Cipta

Bab I berisikan pasal 1-3 yang membahas tentang ketentuan umum tentang hak cipta.

Bab II berisikan pasal 4-19 yang membahas tentang bagian kesatu umum hak cipta.

Bab III berisikan pasal 20-30 yang membahas tentang hak terkait kesatu umum hak cipta.

Bab IV berisikan pasal 31-37 yang membahas tentang penciptaan hak cipta.

Bab V berisikan pasal 38-42  yang membahas tentang ekspresi budaya tradisional dan ciptaan yang dilindungi.

Bab VI berisikan pasal 43-51 yang membahas tentang pembatasan hak cipta.

Bab VII berisikan pasal 52-53  yang membahas tentang sarana kontrol teknologi.

Bab VIII berisikan pasal 54-56 yang membahas tentang konten hak cipta dan terkait dalam teknologi informasi dan komunikasi.

Bab IX berisikan pasal 57-63 yang membahas tentang masa berlaku hak cipta dan hak terkait.

Bab X berisikan pasal 64-79 yang membahas tentang pencatatan ciptaan dan produk hak terkait.

Bab XI berisikan pasal 80-86 yang membahas tentang lisensi dan lisensi wajib.

Bab XII berisikan pasal 87-93 yang membahas tentang lembaga manajemen kolektif.

Bab XIII berisikan pasal 94 yang membahas tentang Biaya.

Bab XIV berisikan pasal 95-105 yang membahas tentang penyelesaian sengketa.

Bab XV berisikan pasal 106-109 yang membahas tentang penetapan sementara pengadilan.

Bab XVI berisikan pasal 110-111 yang membahas tentang Penyidikan.

Bab XVII berisikan pasal 112-120 yang membahas tentang Ketentuan pidana.

Bab XVIII berisikan pasal 121-122 yang membahas tentang Ketentuan peralihan.

Bab XIX berisikan pasal 123-126 yang membahas tentang Ketentuan penutup.

 

UU PATEN

Paten merupakan kekayaan intelektual yang diberikan oleh negara kepada inventor atas hasil invensinya di bidang teknologi yang mempunyai peranan strategis dalam mendukung pembangunan bangsa dan memajukan kesejahteraan umum. Berikut merupakan review UU Paten

Bab I berisikan pasal 1 yang membahas tentang ketentuan umum hak paten.

Bab II berisikan pasal 2-23 yang membahas tentang lingkup pelindungan paten.

Bab III berisikan pasal 24-45 yang membahas tentang permohonan paten.

Bab IV berisikan pasal 46-56 yang membahas tentang Pengumuman dan pemeriksaan substantif.

Bab V berisikan pasal 57-63 yang membahas tentang Persetujuan atau penolokan permohonan.

Bab VI berisikan pasal 64-73 yang membahas tentang Komisi banding paten dan permohonan banding.

Bab VII berisikan pasal 74-108 yang membahas tentang Pengalihan hak, lisensi, dan paten sebagai objek jaminan fidusia.

Bab VIII berisikan pasal 109-120 yang membahas tentang Pelaksanaan paten oleh pemerintah.

Bab IX berisikan pasal 121-124 yang membahas tentang paten sederhana.

Bab X berisikan pasal 125 yang membahas tentang Dokumentasi dan pelayanan informasi paten.

Bab XI berisikan pasal 126-129 yang membahas tentang Biaya.

Bab XII berisikan pasal 130-141 yang membahas tentang Penghapusan paten.

Bab XIII berisikan pasal 142-154 yang membahas tentang Penyelesaian sengketa.

Bab XIV berisikan pasal 155-158 yang membahas tentang Penetapan sementara pengadilan.

Bab XV berisikan pasal 159 yang membahas tentang Penyidikan.

Bab XVI berisikan pasal 160- yang membahas tentang Perbuatan yang dilarang.

Bab XVII berisikan pasal 161-166 yang membahas tentang Ketentuan pidana.

Bab XVIII berisikan pasal 167-168 yang membahas tentang Ketentuan yang lain-lain.

Bab XIX berisikan pasal 169 yang membahas tentang Ketentuan peralihan.

Bab XXberisikan pasal 170-173 yang membahas tentang Ketentuan penutup.

 

UU DESAIN INDUSTRI

Berikut merupakan review UU Desain Industri

Bab I berisikan pasal 1 yang membahas tentang Ketentuan umum desain industri.

Bab II berisikan pasal 2-9 yang membahas tentang Lingkup desain industri.

Bab III berisikan pasal 10-23 yang membahas tentang Permohonan pendaftaran desain industri.

Bab IV berisikan pasal 24-30 yang membahas tentang Pemeriksaan desain industri.

Bab V berisikan pasal 31-36 yang membahas tentang Pengalihan hak dan lisensi.

Bab VI berisikan pasal 37-44 yang membahas tentang Pembatalan pendaftaran desain industri.

Bab VII berisikan pasal 45 yang membahas tentang Biaya.

Bab VIII berisikan pasal 46-48 yang membahas tentang Penyelesaian sengketa.

Bab IX berisikan pasal 49-52 yang membahas tentang Penetapan sementara pengadilan.

Bab X berisikan pasal 53 yang membahas tentang Penyidikan.

Bab XI berisikan pasal 54 yang membahas tentang Ketentuan pidana.

Bab XII berisikan pasal 55 yang membahas tentang Ketentuan peralihan.

Bab XIII berisikan pasal 56-57 yang membahas tentang Ketentuan penutup.

 

UU MEREK DAN INDIKASI GEOGRAFIS

Berikut merupakan review UU Merek dan Indikasi Geografis

Bab I berisikan pasal 1 yang membahas tentang Ketentuan umum.

Bab II berisikan pasal 2-3 yang membahas tentang Lingkup merek.

Bab III berisikan pasal 4-19 yang membahas tentang Permohonan pendaftaran merek.

Bab IV berisikan pasal 20-40 yang membahas tentang Pendaftaran merek.

Bab V berisikan pasal 41-45 yang membahas tentang Pengalihan hak dan lisensi.

Bab VI berisikan pasal 46-51 yang membahas tentang Merek kolektif.

Bab VII berisikan pasal 52 yang membahas tentang Permohonan pendaftaran merek internasional.

Bab VIII berisikan pasal 53-55 yang membahas tentang Indikasi geografis.

Bab IX berisikan pasal 54-65 yang membahas tentang Pendaftaran indikasi geografis.

Bab X berisikan pasal 66-69 yang membahas tentang Pelanggaran dan gugatan.

Bab XI berisikan pasal 70,71 yang membahas tentang Pembinaan dan pengawasan indikasi geografis.

Bab XII berisikan pasal 72-79 yang membahas tentang Penghapusan dan pembatalan pendaftaran merek.

Bab XIII berisikan pasal 80,81 yang membahas tentang Sistem jaringan dokumentasi dan informasi merek dan indikasi geografis.

Bab XIV berisikan pasal 82 yang membahas tentang Biaya.

Bab XV berisikan pasal 83-93 yang membahas tentang Penyelesaian sengketa.

Bab XVI berisikan pasal 94-98 yang membahas tentang Penetapan sementara pengadilan.

Bab XVII berisikan pasal 99 yang membahas tentang Penyidikan.

Bab XVIII berisikan pasal 100-103 yang membahas tentang Ketentuan pidana.

Bab XIX berisikan pasal 104,105 yang membahas tentang Ketentuan peralihan.

Bab XX berisikan pasal 106-109 yang membahas tentang Ketentuan penutup.